Saturday, June 18, 2016

Sokrates dan Dialektika Kritisnya

Saya tidak akan membahas sejauh mana tentang sokrates, tapi lebih kepada segi praktisnya. Alasannya karena ini lebih berkesan berguna bagi kehidupan itu sendiri.

Pertama-tama, mari kita bahas tentang dialektika. Dialektika itu sendiri berasal dari Negeri Yunani, tapi entah pada saat itu mereka menamainya sebagai dialektika. Metode ini ditemukan oleh Zeno, murid Parmenides. Banyak menyangka bahwa metode ini ditemukan oleh Sokrates, mungkin lebih tepatnya dikembangkan.

Metode ini sangat memerankan penting sebuah dialog, antara A dan B. Hegel sendiri mengatakan bahwa sesuatu sebuah huruf A jika dibandingkan dengan semua huruf yang ada. Jadi dialektika merupakan keseluruhan. Kenyataan sendiri pun juga begitu. Jika merah dikatakan sebagai warna pada aspek dialektika, itu akan menjadi masalah. Hal ini disebabkan, jelasnya merah adalah bagian dari warna karena keseluruhan adalah kenyataannya. Hegel sendiri membagi dialektika menjadi tiga bagian, tesis, anti-tesis dan juga, sintesis. Tesis merupakan pondasinya, anti-tesis merupakan lawan pondasi tersebut, dan sintesis merupakan keseluruhannya. Dalam buku Madilog (materialiesme dialektika logika) juga dijelaskan dalam sebuah contoh idealnya. Cara mengatur kesenjangan sosial antara kaya dan miskin harus melalui sebuah kebijakan, karena kebijakan tersebut sudah mencakup semuanya. Namun ini hanya idealnya, kita tahu bahwa marxisme lebih condong pada reduksi ekonomi dan materi. Pada kenyataannya, masih terdapat kesenjangan sosial antara kaya dan miskin. Yang kaya memiliki hidup lebih baik karena telah memiliki semua materi, kendaraan, rumah, dan sebagainya. Sedangkan yang miskin semakin terpuruk.

Dalam konteks dialektika kritis, saya melihat proses dialog itu lebih kepada tatanan etika. Sokrates pada dahulunya banyak bertanya yang bahkan nyawanya menjadi taruhan. Ketika itu dia bertanya tentang makna negara pada tukang sepatu, dan pada akhirnya ditegur oleh seorang panglima, katanya sokrates lebih mudah diracuni . Misalnya dialektika kritis, ketika seseorang penanya yang memakai metode ini, bertanya apa arti keadilan itu pada seorang jaksa, lantas jawabannya tak memuaskan si penanya, mungkin karena si jaksa tersebut merupakan jaksa korup atau mungkin si penjawab lupa. Maka si penanya akan menghantuinya dengan berbagai pertanyaan yang akan berakhir kritis. Kritis mungkin di sini dapat dipandang sebagai sesuatu standar yang dimiliki setiap masa, sebuah proses idealisasi. Entah itu secara idealisasi tatanan bahasa atau logika, yang terpenting mereka terbatas akan waktu.

Akan tetapi model seperti ini sebenarnya memperbudak orang dengan idealisasi etika. Misalnya saja ketika kita mengkritisi dengan pertanyaan yang dialektis kepada seseorang, itu akan mempengaruhi batin seseorang jika ia setuju dan memikirkannya, namun jika dia menolak, justru orang itu marah. Nietzsche pernah mengatakan bahwa sokrates itu merupakan seorang budak moral karena hal tersebut. Doktrin liberalisme juga seperti itu, misalnya jangan menyakiti seseorang jika tidak ingin disakiti. Nietzsche mungkin dengan marah menjawab bahwa saya bukan budak moralmu.

Dan juga ketika kita mengkaji hal ini dalam tatanan ilmiah, misalnya empirisme. Metoda ini sangat tak bekerja, bagaimana caranya misalnya mengetahui luas kolam renang atau jumlah penyebaran virus. Ini sangat bertolak belakang dengan logika dan bahasa. Idealisme dan Empirisme.

Namun, apakah hal tersebut selalu merujuk pada fakta?

Dalam mencari kebenaran, itu bisa saja terjadi tapi akan mendapatkan kesulitan karena di sini, proses kritis tersebut sangat terbatas pada aspek logika dibandingkan kenyataan. Metode ini bisa dipakai agar seseorang bisa benar-benar sadar akan sesuatu yang bermakna. Pencerminan antara keadaan dan ketiadaan, dialektis itu tersebut sangat bermakna dari pada kenyataannya.

No comments:

Post a Comment