Thursday, June 16, 2016

Blank. I don't know how to write!

Blank. I don't know how to write! Saya juga bingung mau nulis apa untuk pertama kalinya. Harus saya akui sudah banyak blog saya yang gatot alias gagal total, alasannya pertama kurang kisah, dan kedua yang paling biasa saya hadapi karena kurang fokus. Yah jadi bisa dibilang saya orangnya begitu. Baiklah, mungkin awalnya saya buat blog ini dengan alasan itu, ngatasin gmn caranya hadapin. Namun, ide blog ini sangat menarik. Namanya, the great deserter, sang desertir agung. Nama blog ini datang ketika saya merasa seperti di pegunungan padang pasir, serasa panas, sunyi dan kehausan. Menurut paman google, deserter itu artinya pembelot. Bukan berarti itu bisa dipahami secara global. Menurut Aristoteles, setiap benda yang mempunyai nama, misalnya pensil, memiliki kekhasan tertentu. Tentunya hal ini sangat berlawanan dengan ide universal gurunya, Plato. Pensil tentunya memiliki kayu, yang sudah pasti sifatnya dan juga sangat khas dibanding dengan benda lain. Namun makna pensil itu sendiri saja tidak bisa lepas dengan kayu yang tipis, ketika kayu yang tipis itu tidak ada berarti bukan pensil lagi. Kekhasan nama yang diberikan mbah Google membuat anggapan masyarakat menjadikan itu sebuah hak paten. Dan berangkat hal ini pulalah, si Wittgenstein melihat bahwa sebenarnya kekhasan suatu makna itu dibentuk melalui praktik sosial. Sesuai kutipan Chris Barker dalam bukunya, Kajian Budaya, dalam bagian Wittgenstein, Bahasa sebagai alat, mengatakan bahwa kata itu distabilkan oleh pengetahuan sosial tentang kata 'meja' (misalnya) itu, artinya kata ini dipakai untuk apa, kapan, pada kesempatan apa, dan seterusnya; dengan kata lain, kata 'meja' tampil dalam narasi pragmatis atau permainan-bahasa. Dalam kesempatan ini, dengan alasan itu, saya sangat ingin membawakan ide seseorang yang tergambarkan diatas, seseorang yang berada di atas bukit padang pasir, yang gersang, yang bisa membuat orang haus dan kesepian dibandingkan pembelot yang mempunyai makna yang agak negatif.
The Focus. Tentunya hal ini membuat saya juga bingung. Ide yang pasti cuma bisa dilihat dari arti padang pasir. Mungkin bisa dikatakan, padang pasir itu adalah gambaran atau realitas yang saya hadapi saat ini, sangat menyesakkan. Yah, mungkin saya bisa menulis tanggapan realitas sekarang, bagaimana menghadapi padang pasir yang begitu panas. Dan kedua, saya sangat suka dengan filsafat, walaupun blog sebelumnya gagal total yang hanya diview lebih dari 100 orang tanpa komentar. Ini sangat menggelitik, tulisan yang dulu saya buat bisa dikatakan bukan ide saya, yah, cuma kopas kok haha Jadi dalam kesempatan ini doain saya ya, agar bisa menulis filsafat dalam cara saya sendiri agar mudah dibaca. Eh tapi para pembaca suka filsafat atau enggak??? haha mari kita lihat nanti. 

2 comments:

  1. menulis itu dilakukan bukan ditanyakan caranya.
    Kerjakan saja.
    Coba tulis dari apa yang jadi menarik saat ini. Abaikan kesmepurnaan, abaikan teknik.. semua itu dalam proses berjalan nantinya.
    misal.. yg lagi viral kmrn kan soal warung makan buka pas ramadhan dan ibu saeni yang jadi perdebatan tuh.. Tulis coba tentang dia.. dr sudut pandang mana saja. how?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih desy kurnia, namanya juga saya baru belajar.

      Delete