Tuesday, December 6, 2016

Agama dalam dekonstruksi

Jika anda seorang agamawan, pernahkah anda dikatakan sebagai agamawan liberal, moderat, atau bahkan dengan kata yang sangat ekstrim 'sesat' (maaf)? Sebenarnya itu adalah pandangan anda akan agama yang mewakili diri anda. Namun, itu juga sebuah proses dekonstruksi.

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final (wikipedia.com). Artinya dalam proses dekonstruksi, selalu terjadi penundaan dimana sang pembaca menghilangkan makna kontekstualnya dan mengacu pada makna final yang dianutnya sendiri. Misalnya seseorang yang mempelajari agama, dia tak akan pernah lepas dengan pengalaman yang dianutnya selama ini, misalnya pemikiran, budaya, maupun bahasa, sehingga mempengaruhi proses dia mempelajari agama tersebut dan menghasilkan sebuah perkawinan antara apa yang dia pelajari dan pengalaman yang telah dialaminya sebelumnya. Perkawinan tersebut bisa kita lihat dalam seorang agamawan yang telah mempelajari agama menjadi seorang agamawan yang liberal (misalnya islam liberal), jika pemikiran ia sebelumnya sangat khas akan kebebasan. Dalam kasus tertentu, bisa juga sebaliknya. Jika seorang liberalis mempelajari agama dan menghasilkan paham yang fanatik mungkin itu dikarenakan dia sangat membenci dirinya dahulu sehingga dia menjadi fanatik. Nietzsche, seorang filsuf jerman, sebelumnya sudah curiga akan hal ini.  Dia melihat sebuah perubahan etika antara apa yang baik dan buruk dulunya berubah ketika agama memasuki di eropa, sehingga apa yang baik dan buruk berubah menjadi apa yang baik dan jahat (atau setan/evil). 

Martin McQuillan dalam bukunya Deconstruction: A Reader (2001) menjelaskan bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah metode. Ketika seseorang membaca sebuah teks, ia tak perlu menggunakan metode dalam memahami apa yang dia baca. Namun, hal ini justru memperlihatkan pluralitas dalam memahami sehingga setiap orang mempunyai cara yang berbeda. McQuillan juga menjelaskan bahwa ada makna dominan yang pembaca angkat dari proses pembacaannya sehingga ada makna yang masih belum terungkap. Jacques Derrida (wikipedia) menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Makna dominan inilah yang berbahaya. Misalnya dalam kasus 9/11 di U.S, ada banyak media yang menyudutkan agama Islam sehingga media mendekonstruksi Islam dan menjadikannya sebagai agama terror. Makna final yang dibawa media ini membawakan wabah penyakit yang menakutkan bagi yang hidup di negara yang bukan mayoritas muslim, sehingga lahirlah penyakit seperti islamphobia. Padahal jika kita memakai pisau analisa Nietzsche, ada intrik tertentu mengapa media menyudutkan Islam. Kasus juga ini terjadi saat ini, peristiwa 4 November atau biasanya disebut 411, media lokal seperti nytimes.com menulis dengan headlinenya "Islamists March in Jakarta, Demanding Christian Governor Be Jailed". Dengan headline seperti itu tampak sebuah dekonstruksi, mengapa semestinya "Christian Governor" dari pada "Jakarta Governor". Namun, headline ini hanya nampak pada media lokalnya dan media umumnya seperti times.com lebih memilih jalur aman. 

Dalam tulisan saya ini saya berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan dekonstruksi dan dikaitkan dalam agama. Dan juga dekonstruksi sangat terlihat jelas dalam media. Penciptaan makna umum perlu dipertanyakan. 

No comments:

Post a Comment